colorbox

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 08 Oktober 2010

Profil Istri-Istri Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam

Maimunah Binti Harits al-Hilaliyah

(Wafat 50 H)

Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyah adalah istri Nabi yang sangat mencintai beliau dengan tulus selama mengarungi bahtera numah tangga bersama. Dialah satu-satunya wanita yang dengan ikhlas menyerahkan dirnya kepada kepada Rasulullah ketika keluarganya hidup dalam kebiasaan jahiliah. Allah telah menurunkan ayat yang berhubungan dengan dirinya :

“.. dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukminin…” (QS. Al-Ahzab:50)

Ayat di atas merupakan kesaksian Allah terhadap ke ikhlasan Maimunah kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana rnungkin Rasulullah menolak wanita yang dengan suka rela menyerahkan dirinya. Hal itu menunjukkan kadar ketakwaan dan keirnanan Maimunah. Selain itu, wanita itu berasal dari keturunan yang baik. Kakak kandungnya, Ummul-Fadhal, adalah istri Abbas bin Abdul-Muththalib (paman Nabi) dan wanita yang pertarna kali merneluk Islam setelah Khadijah. Saudara perempuan seibunya adalah Zainab binti Khuzaimah (istri Nabi Shallallahu alaihi wassalam.), Asma binti Urnais (istri Ja’far bin Abu Thalib), dan Salma binti Umais (istri Hamzah bin Abdul-Muththalib).

Nasab, Masa Pertumbuhan, dan Pernikahan

Nama lengkap Mairmnah adalah Barrah binti al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Hazm bin Rabiah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah. Ibunya bernama Hindun binti Aus bin Zubai bin Harits bin Hamathah bin Jarsy.


Dalam keluarganya, Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam. Ibnu Abbas meriwayatkan dari Rasulullah, “Al-Mu’minah adalah tiga bersaudara, yaitu Maimunah, Ummu-Fadhal, dan Asma’.” Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa kenabian, sehingga dia mengetahui saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi kakak perempuannya, Ummul-Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam, namun dia menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung.


Tentang suaminya, banyak riwayat yang memperselisihkannya, namun ada juga kesepakatan mereka tentang asal-usul suaminya yang berasal dan keluarga Abdul-Uzza (Abu Lahab). Sebagian besar riwayat mengatakan bahwa nama suaminya adalah Abu Rahm bin Abdul-Uzza, seorang muysrik yang mati dalam keadaan syirik. Suaminya meninggalkan Maimunah sebagai janda pada usia 26 tahun.


Kekokohan Iman


Setelah suaminya meninggal, dengan leluasa Maimunah dapat menyatakan keimanan dan kecintaannya kepada Rasulullah. Sehingga dengan suka rela dia menyerahkan dirinya kepada Rasulullah untuk dinikahi sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hisyam dalam A1-Ishabah-nya Ibnu Hajar dari referensi az-Zuhri.


Tentang penyerahan Maimunah kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. ini telah dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Ahzab:50. Maimunah tinggal bersama saudara perempuannya, Ummul Fadhal, istri Abbas bin Abdul Muththalib. Suatu ketika, kepada kakaknya, Maimunah menyatakan niat penyerahan dirinya kepada Rasulullah. Ummul-Fadhi menyampaikan berita itu kepada suaminya sehingga Abbas pun mengabarkannya kepada Rasulullah. Rasulullah mengutus seseorang kepada Abbas untuk meminang Maimunah. Betapa gembiranya perasaan Maimunah setelah mengetahui kesediaan Rasulullah menikahi dirinya.

Mimpi yang Menjadi Kenyataan

Pada tahun berikutnya, setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah bersama kaum muslimin memasuki Mekah untuk melaksanakan ibadah umrah. Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, Nabi diizinkan untuk menetap di sana selama riga hari, namun orang-orang Quraisy menolak permintaan Nabi dan kaum muslimin untuk berdiam di sana lebih dari tiga hari.


Kesempatan itu digunakan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Untuk melangsungkan pernikahan dengan Maimunah.

Setelah pernikahan itu, beliau dan kaum muslirnin rneninggalkan Mekah.

Maimunah mulai memasuki kehidupan rumah tangga Rasulullah dan beliau menempatkannya di kamar tersendiri.

Maimunah memperlakukan istri-istri beliau yang lain dengan baik dan penuh hormat dengan tujuan mendapatkan kerelaan hati beliau semata.


Tentang Maimunah, Aisyah menggambarkannya sebagai berikut. “Demi Allah, Maimunah adalah wanita yang baik kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi di antara kami.” Dia dikenal dengan kezuhudannya, ketakwaannya, dan sikapnya yang selalu ingin mendekatkan diri kepada Allah. Riwayat-riwayat pun menceritakan penguasaan ilmunya yang luas.


Saat Wafatnya

Pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bertepatan dengan perjalanan kembali dari haji, di suatu tempat dekat Saraf, Maimunah merasa ajalnya menjelang tiba. Ketika itu dia berusia delapan puluh tahun, bertepatan dengan tahun ke-61 hijriah. Dia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang dia sampaikan. Menurut sebagian riwayat, dia adalah istri Nabi yang terakhir meninggal. Semoga Allah memberi tempat yang layak di sisi-Nya.

Amin.

Kamis, 07 Oktober 2010

Aisyah bintu Abû Bakr, Belahan Jiwa Rasûlullâh

Penulis: Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran

Dialah ‘Aisyah bintu Abi Bakr ‘Abdillah bin Abi Quhafah ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay al-Qurasyiyyah at-Taimiyyah al-Makkiyyah radhiyallahu ‘anha. Dia seorang wanita yang cantik dan berkulit putih sehingga mendapat sebutan al-Humaira’. Ibunya bernama Ummu Ruman bintu ‘Amir bin ‘Uwaimir bin ‘Abdi Syams bin ‘Attab bin Udzainah al-Kinaniyyah. Dia lahir ketika cahaya Islam telah memancar, sekitar delapan tahun sebelum hijrah. Dihabiskan masa kanak-kanaknya dalam asuhan sang ayah, kekasih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang sahabat yang mulia, Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.

Belum tuntas masa kanak-kanaknya ketika datang pinangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Usianya baru menginjak enam tahun saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan akad pernikahan dengannya. Wanita mulia yang diperlihatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wahyu berupa mimpi untuk memberitakan bahwa dia kelak akan menjadi istri beliau.

Dilaluinya hari-hari setelah itu di tengah keluarganya hingga tiba saatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjemputnya -tiga tahun kemudian, seusai beliau kembali dari pertempuran Badr – untuk memasuki rumah tangga yang dipenuhi cahaya nubuwwah di Madinah. Tidak satu pun di antara istri-istri beliau yang dinikahi dalam keadaan masih gadis kecuali ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Seorang wanita yang mulia, sabar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah kefakiran dan rasa lapar, hingga terkadang hari-hari yang panjang berlalu tanpa nyala api untuk memasak makanan apa pun. Yang ada hanyalah kurma dan air.

Seorang istri yang menyenangkan suaminya yang mulia, menggiring kegembiraan ke dalam hatinya, menghilangkan segala kepayahan dalam menjalani kehidupan dakwah untuk menyeru manusia kepada Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan banyak keutamaan baginya, di antaranya dengan meraih kecintaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kecintaan yang tak tersamarkan, tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan hal itu dari lisannya yang mulia, hingga para sahabat pun berusaha mendapatkan ridha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini. Siapa pun yang ingin memberikan hadiah kepada beliau biasa menangguhkannya hingga tiba saatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tempat ‘Aisyah. Di sisi lain, ada istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wanita-wanita mulia yang tak lepas dari tabiat mereka sebagai wanita. Tak urung kecemburuan pun merebak di kalangan mereka sehingga mereka mengutus Ummu Salamah untuk menyampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengatakan kepada manusia, siapa pun yang ingin memberikan hadiah, hendaknya memberikannya di mana pun beliau berada saat itu.

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pun mengungkapkan hal itu saat beliau berada di sisinya, namun beliau tidak menjawab sepatah kata pun. Diulanginya permintaan itu setiap kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadanya, dan beliau pun tetap tidak memberikan jawaban. Pada kali yang ketiga Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengatakannya, beliau menjawab, “Janganlah engkau menggangguku dalam permasalahan ‘Aisyah, karena sesungguhnya Allah tidak pernah menurunkan wahyu dalam keadaan diriku di dalam selimut salah seorang pun dari kalian kecuali ‘Aisyah.”

Kemuliaan demi kemuliaan diraihnya dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari banyak peristiwa yang dialaminya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat-ayat-Nya. Suatu ketika, ‘Aisyah turut dalam perjalanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rombongan itu pun singgah di suatu tempat. Tiba-tiba ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha merasa kalungnya hilang, sementara kalung itu dipinjamnya dari Asma’, kakaknya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan para sahabat yang turut dalam rombongan itu untuk mencarinya. Terus berlangsung pencarian itu hingga masuk waktu shalat. Akan tetapi ternyata tak ada air di tempat itu sehingga para sahabat pun shalat tanpa wudhu’. Tatkala bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengeluhkan hal ini kepada beliau. Saat itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat-Nya tentang tayammum.

Melihat kejadian ini, Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu mengatakan kepada ‘Aisyah, “Semoga Allah memberikan balasan kepadamu berupa kebaikan. Demi Allah, tidak pernah sama sekali terjadi sesuatu padamu kecuali Allah jadikan jalan keluar bagimu dari permasalahan itu, dan Allah jadikan barakah di dalamnya bagi seluruh kaum muslimin.”

Satu peristiwa penting tercatat dalam kehidupan ‘Aisyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan kesucian dirinya. Berawal dari kepulangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pertempuran Bani Musthaliq yang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha turut dalam rombongan itu. Di tengah perjalanan, ketika rombongan tengah beristirahat, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pergi untuk menunaikan hajatnya. Namun ia kehilangan kalungnya sehingga kembali lagi untuk mencarinya. Berangkatlah rombongan dan ‘Aisyah tertinggal tanpa disadari oleh seorang pun. ‘Aisyah menunggu di tempatnya semula dengan harapan rombongan itu kembali hingga ia tertidur.

Saat itu muncullah Shafwan ibnul Mu’atthal radhiyallahu ‘anhu yang tertinggal dari rombongan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melihat ‘Aisyah, dia pun beristirja’1 dan ‘Aisyah terbangun mendengar ucapannya. Tanpa mengatakan sesuatu pun dia persilakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk naik kendaraannya dan dituntunnya hingga bertemu dengan rombongan.

Kaum munafikin yang ditokohi oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul menghembuskan berita bohong tentang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Berita itu terus beredar dan mengguncangkan kaum muslimin, termasuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang ‘Aisyah sendiri tidak mendengarnya karena dia langsung jatuh sakit selama sebulan setelah kepulangan itu. Hanya saja ia merasa heran karena tidak menemukan sentuhan kelembutan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sakitnya sebagaimana biasa bila dia sakit.

Akhirnya berita bohong itu pun sampai kepada ‘Aisyah melalui Ummu Misthah. ‘Aisyah pun menangis sejadi-jadinya dan meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tinggal sementara waktu dengan orang tuanya. Beliau pun mengizinkan.

Sementara itu, wahyu yang memutuskan perkara ini belum juga turun sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat ‘Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma dalam urusan ini. Beliau pun menemui ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, mengharap kejelasan dari peristiwa ini.

Di puncak kegalauan itu, dari atas langit Allah menurunkan ayat-ayatnya yang membebaskan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari segala tuduhan yang disebarkan oleh orang-orang munafik. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, wanita mulia yang mendapatkan pembebasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari atas langit.

Dia melukiskan keadaannya pada waktu itu, “Demi Allah, saat itu aku tahu bahwa diriku terbebas dari segala tuduhan itu dan Allah akan membebaskan aku darinya. Namun, demi Allah, aku tidak pernah menyangka Allah akan menurunkan wahyu yang dibaca dalam permasalahanku, dan aku merasa terlalu rendah untuk dibicarakan Allah di dalam ayat yang dibaca. Aku hanya berharap, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melihat mimpi yang dengannya Allah membebaskan diriku dari tuduhan itu.” Ayat-ayat itu terus terbaca oleh seluruh kaum muslimin hingga hari kiamat di dalam Surat an-Nuur ayat 11 beserta sembilan ayat berikutnya.

Wanita mulia ini menjalani hari-harinya bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga tiba saatnya beliau kembali ke hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Delapan belas tahun usianya, saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di atas pangkuannya setelah hari-hari terakhir selama sakit beliau memilih untuk dirawat di tempatnya. Beliau pun dikuburkan di kamar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Sepeninggal beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebarkan ilmu yang dia dapatkan dalam rumah tangga nubuwah. Riwayatnya banyak diambil oleh para sahabat yang lain dan tercatat dalam kitab-kitab. Dia menjadi seorang pengajar bagi seluruh kaum muslimin.

Keutamaan dari sisi Allah banyak dimilikinya, hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita bagaikan keutamaan tsarid2 atas seluruh makanan.” Bahkan Jibril ’alaihissalam menyampaikan salam padanya melalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tiba waktunya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha kembali kepada Rabb-Nya. Wanita mulia ini wafat pada tahun 57 Hijriah dan dikuburkan di pekuburan Baqi’. Ilmunya, kisah hidupnya, keharumannya namanya tak pernah sirna dari goresan tinta para penuntut ilmu. Semoga Allah meridhainya.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sumber bacaan:

1. Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari Al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalani
2. Syarh Shahih Muslim Al-Imam an-Nawawi
3. Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah Al-Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani
4. Siyar A’lamin Nubala’ Al-Imam adz-Dzahabi
5. Shahih as-Sirah an-Nabawiyah asy-Syaikh Ibrahim al-’Aly

Footnote:

1Istirja’ adalah ucapan innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.
2Tsarid adalah makanan dari adonan tepung dicampur kuah daging, terkadang disertakan pula dagingnya.

Jumat, 01 Oktober 2010

Profil Istri-2 Rasulullah

Khadijah binti Khuwailid

Beliau adalah sayyidah wanita sedunia pada zamannya. Putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiah al-Asadiyah. Dijuluki at-Thahirah bersih atau suci. Terlahir 15 tahun sebelum tahun fiil (tahun gajah). Beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia dan pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung. Beliau dikenal sebagai seorang yang teguh dan cerdik dan memiliki perangai yang luhur. Karena itulah banyak laki-laki dari kaumnya menaruh simpati kepadanya.

Pada mulanya beliau dinikahi oleh Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi yang membuahkan dua anak yang bernama Halah dan Hindun. Tatkala Abu Halah wafat, beliau dinikahi oleh Atiq bin 'A'id bin Abdullah al-Mahzumi hingga beberapa waktu lamanya, namun akhirnya mereka cerai.

Setelah itu, banyak pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan beliau. Akan tetapi, beliau prioritaskan perhatiannya untuk mendidik putra-putrinya, disamping sibuk mengurusi perniagaan yang memang beliau juga menjadi seorang wanita yang kaya raya. Suatu ketika beliau mencari orang yang dapat menjual barang dagangannya, maka tatkala beliau mendengar tentang Muhammad sebelum bi'tsah (diangkat menjadi Nabi) yang memiliki sifat jujur, amanah, dan berakhlak mulia, beliau meminta kepada Muhammad untuk menjualkan dagangannya bersama seorang pembantunya yang bernama Maisaroh.

Beliau memberikan barang dagangan kepada Muhammad melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya. Muhammad pun menyetujuinya dan berangkatlah beliau bersama Maisaroh, dan Allah menjadikan perdagangan tersebut menghasilkan laba yang banyak. Khadijah merasa gembira dengan keuntungan tersebut. Akan tetapi, ketakjubannya terhahap kepribadian Muhammad lebih besar dari semua itu. Maka, mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur di benaknya yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Pemuda ini tidak sebagaimana lelaki yang lain dan perasaan-perasaan yang lain.

Akan tetapi, dia merasa pesimis: mungkinkah pemuda tersebut mau menikahinya, mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun? Apa kata orang nanti, karena ia telah menutup pintu bagi para pemuka Quraish yang melamarnya? Di saat dia bingung dan gelisah karena problem yang menggelayuti pikirannya, tiba-tiba muncullah seorang temannya yang bernama Nafisah binti Munabbih, selanjutnya dia ikut duduk dan berdialog, hingga dengan kecerdikannya Nafisah mampu menyibak rahasia yang disembunyikan oleh Khadijah tentang problem yang dihadapi dalam kehidupannya.

Nafisah membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang memiliki martabat, keturunan orang yang terhormat, memiliki harta, lagi berparas cantik. Hal itu terbukti dengan banyaknya para pemuka Quraisy yang melamarnya.

Selanjutnya, tatkala Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia langsung menemui Muhammad hingga terjadi dialog yang menunjukkan akan kelihaian dan kecerdikan dia.
Nafisah: "Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad?"
Muhammad: "Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah."
Nafisah: (Dengan tersenyum berkata) "Jika aku pilihkan untukmu seorang wanita yang kaya, cantik, dan berkecukupan, apakah kamu mau menerimanya?"
Muhammad: "Siapa dia?"
Nafisah: (Dengan cepat dia menjawab) "Dia adalah Khadijah binti Khuwailid."
Muhammad: "Jika dia setuju, maka aku pun setuju."

Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut, sedangkan Muhammad memberitahukan kepada paman-pamannya tentang keinginannya untuk menikahi Khadijah. Kemudian, pergilah Abu Thalib, Hamzah, dan yang lain menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk melamar Khadijah bagi keponakannya, dan selanjutnya menyerahkan mahar sebagai tanda sahnya akad nikah tersebut.

Maka, jadilah Sayyidah Quraisy sebagai istri Muhammad dan jadilah dirinya sebagai contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai suami dan mengutamakan kepentingan suami daripada kepentingannya sendiri. Manakala Muhammad mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka dihadiahkanlah oleh Khadijah kepada Muhammad. Demikian pula tatkala Muhammad ingin mengambil salah seorang dari putra pamannya Abu Thalib, maka Khadijah menyediakan suatu ruangan bagi Ali bin Abu Thalib, agar dia dapat mencontoh akhlak suaminya Muhammad saw.

Dari pernikahan ini Allah memberikan karunia kepada keduanya putra-putri yang bernama al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah.

Berkat pernikahan ini pula, Khadijah merupakan orang yang pertama kali masuk Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Selanjutnya, Khadijah terus memback up perjuangan suaminya. Dari sinilah Zaid bin Haritsah dan keempat putrinya masuk Islam.

Seiring dengan perjuangan ini, kaum muslimin terus ditimpa ujian dan musibah yang sangat berat, akan tetapi Khadijah tetap berdiri kokoh bak sebuah gunung yang tegar dan kuat. Ujian demi ujian secara beruntun diberikan Allah SWT. Kedua putranya yang masih kanak-kanak, yaitu Abdullah dan al-Qasim dipanggil Allah untuk selama-lamanya, namun demikian Khadijah tetap bersabar. Beliau juga melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana syahidah pertama dalam Islam yang bernama Sumayyah tatkala menghadapi sakaratul maut karena siksaan para taghut hingga jiwanya menghadap Sang Pencipta penuh kemuliaan.

Beliau harus juga berpisah dengan putri dan buah hatinya yang bernama Ruqayyah istri dari Utsman bin Affan, karena putrinya hijrah ke negeri Habasyah untuk menyelamatkan agamanya dari gangguan orang-orang musyrik. Beliau saksikan dari waktu ke waktu yang penuh dengan kejadian besar dan permusuhan, akan tetapi tidak ada istilah putus asa bagi seorang mujahidah.

Tatkala orang-orang Quraisy mengumumkan pemboikotannya terhadap orang-orang Islam untuk menekan dalam bidang politik, ekonomi, dan kemasyarakatan, dan pemboikotan tersebut mereka tulis dalam sebuah naskah dan mereka tempelkan pada dinding Ka'bah, Khadijah tidak ragu untuk bergabung dalam barisan orang-orang Islam bersama dengan kaumnya Abu Thalib dan beliau tinggalkan kampung halaman tercinta untuk menempa kesabaran selama tiga tahun bersama Rasulullah dan orang-orang yang menyertai beliau menghadapi beratnya pemboikotan yang penuh dengan kesusahan dan menghadapi kesewenang-wenangan para penyembah berhala.

Beliau curahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian itu di saat umur 65 tahun. Selang enam bulan setelah berakhirnya pemboikotan itu, wafatlah Abu Tholib, kemudian menyusullah beliau, yakni tiga tahun sebelum hijrah.

Dengan perjuangannya yang begitu besar, pantaslah beliau berhak mendapat salam dari Rabb-Nya, dan mendapat kabar gembira dengan rumah di sorga yang terbuat dari emas, tidak ada kesusahan di dalamnya dan tidak ada pula keributan di dalamnya. Karena itu pula Rasulullah saw bersabda, "Sebaik-baik wanita sorga adalah Maryam binti Imron dan sebaik-baik wanita sorga adalah Khadijah binti Khuwailid."